Thursday, September 20, 2018

Perbedaan Nilai demokrasi dulu dan sekarang?

Demokrasi di zaman dahulu hanya sebatas kalimat tanpa adanya tindakan yang sesuai dengan nilai demokrasi. sekarang, nilai demokrasi di Indonesia benar-benar sudah diterapkan meskipun terdapat isu-isu politik yang beredar

1. periode 1945-1959 (Masa Demokrasi Parlementer)

Pasca proklamasi kemerdekaan, kita memulai demokrasi dengan sistem Demokrasi parlementer pada fase demokrasi ini, peran parlementer serta partai-partai sangat menonjol. Di satu sisi partai-partai ini memang berfungsi sebagai wadah dalam pencerdasan dan aspirasi politik, namun disisi lain, munculnya partai-partai dengan kepentingan dan ideologi yang berbeda secara tidak langsung menciptakan sekat-sekat antar sesama anak bangsa. Akibatnya, persatuan yang digalang selama perjuangan melawan musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan.



2.periode 1959-1965 (Masa Demokrasi Terpimpin)

kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan absolut pasti korup.Adagium itu adalah gambaran dari demokrasi paca demokrasi parlementer, pada fase ini, Soekarno mendeklarasikan dirinya sebagai presiden seumur hidup, dan saat itu pula Dwi tunggal runtuh, karena Bung Hatta memilih mundur dari jabatan wakil presiden karena menilai konsep yang dibawa Soekarno sudah jauh menyimpang dari cita-cita rakyat. Salah satu kelemahan dari sistem demokrasi terpemimpin ini adalah tidak adanya proses check and balance. Karena peran presiden sangat dominan sementara partai politik praktis menjadi kurang berfungsi..



3.periode  1966-1998 (Masa Demokrasi Pancasila Era Orde Baru)

Demokrasi pancasila merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan system presidensial. Landasan formal periode ini adalah pancasila, UUD 1945 dan Tap MPRS/MPR dalam rangka untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap UUD 1945 yang terjadi di masa Demokrasi Terpimpin, dalam perkembangannya, peran presiden semakin dominant terhadap lembaga-lembaga Negara yang lain. Melihat praktek demokrasi pada masa ini, nama pancasila hanya digunakan sebagai legitimasi politik penguasa saat itu sebab kenyataannya yang dilaksanakan tidaka sesuai dengan nilai-nilai pancasila.

4. periode 1999- sekarang (Masa Demokrasi Pancasila Era Reformasi)

32 tahun dalam kungkungan rezim, akhirnya pada 21 Mei 1998, rakyat Indonesia dengan dipimpin oleh mahasiswa, melakukan sebuah gebrakan perubahan, memaksa Soeharto dan kroni-kroni nya turun dari tampuk kekuasaan. Setelah rezim berhasil diruntuhkan, peranan partai politik kembali menonjol sehingga demokrasi dapat berkembang. Pada fase-fase awal periode ini, posisi pemerintah masih belum stabil, sehingga beberapa kali terjadi pergantian pemerintahan dalam waktu yang singkat. Era ini ditandai dengan kembali di impelemntasi kannya UUD pasal 28, yaitu kebebasan berpendapat, pers kembali tumbuh subur.



Demokrasi masa kini Indonesia

Akhir-akhir ini kita dikejutkan oleh berbagai isu-isu korupsi yang menghinggapi para petinggi partai, hingga terkadang terpikirkan apakah sistem demokrasi saat ini adalah yang terbaik ?

Saat ini dapat dikatakan kita sedang memasuki tahap transisi reformasi, artinya kita masih mencoba-coba dan memilah-milah segala kondisi yang terbaik bagi keberjalan bangsa ini.

Perkebangan yang ada setelah fase awal-awal demokrasi sudah menunjukkan perbaikkan-perbaikkan, sistem check and balance pada fase ini sudah cukup baik, karena fungsi lembaga hukum yang sudah semakin meningkat. Fase ini juga ditandai dengan tumbuh suburnya Lembaga Swadaya Masyarakat. Ujung tombak pengelola pemerintahan masih saja di dominasi oleh tokoh-tokoh lama.

Hasil gambar untuk gambar demokrasi terpimpin

Demokrasi Terpimpin Di Era Sekarang

Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya atas situasi demokrasi di Indonesia. Menurutnya, demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Indikasinya dapat dilihat dari merebaknya persoalan-persoalan yang menggerogoti bangsa seperti liberalisme, sektarianisme, fundamentalisme, radikalisme, terorisme, dan isme-isme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. (Kompas, 23/02)
Keprihatinan ini memang bukan hal baru. Sebelum presiden membuat pernyataan seperti dikutip di atas, telah banyak tokoh politik, tokoh militer maupun akademisi yang menyatakan keprihatinan yang sama. Namun, terlepas dari persoalan siapa yang memulai, penulis menganggap penting untuk menelaah lebih mendalam persoalan ini.
Telaah atas persoalan ini dapat dimulai dengan pertanyaan-pertanyaann berikut;  apakah benar demokrasi di negeri kita sudah kebablasan?  Bagaimana mengukur bablas atau tidaknya suatu bentuk demokrasi? Lantas, bila benar demokrasi di sini sudah kebablasan dan perlu ditinjau kembali, bagaimana bentuk demokrasi yang lebih cocok atau lebih sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia?
Demokrasi, ketika dipahami secara etimologis maupun hakikatnya (kekuasaan/kedaulatan rakyat), semata-mata bermakna positif atau baik. Oleh karena itu saya kira tidak ada keberatan apapun terhadap sistem demokrasi. Bahkan pemerintahan diktator sebelum reformasi 1998 menggunakan istilah “demokrasi Pancasila” untuk memberi judul pada bentuk kediktatorannya. Artinya, demokrasi telah menjadi kata kunci yang tidak bisa dinegasikan secara sewenang-wenang dalam perpolitikan bangsa Indonesia.
Lantas, apakah benar demokrasi kita sudah kebablasan atau kelewat batas? Apa saja batas-batas yang telah dilewati oleh praktek berdemokrasi kita sekarang?
Pada tahun 1957, dua tahun sebelum penerapan demokrasi terpimpin, Bung Karno telah menyampaikan kritik yang serupa terhadap pelaksanaan demokrasi liberal. Penerapan demokrasi saat itu disebut Bung Karno sebagai “demokrasi-omong”, “demokrasi zonder (tanpa) disiplin”, “demokrasi tanpa pimpinan”, “demokrasi hantam-kromo”, “demokrasi yang membiarkan seribu tujuan dan menenggelamkan tujuan bersama”. Bentuk demokrasi ini melahirkan berbagai krisis, mulai dari krisis  demokrasi itu sendiri, krisis akhlak, krisis cara meninjau persoalan (merebaknya sinisme), dan lain-lain.
Bung Karno kemudian memberikan canang tentang batasan dari demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan yang sesungguhnya adalah keadilan sosial. Demokrasi haruslah menjadi alat bagi terwujudnya keadilan sosial tersebut. Oleh karena itu batas-batas dari demokrasi harus mencakup batas “kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungjawaban kepada Tuhan.”
Bila kita melihat pelaksanaan demokrasi sejak tahun 1998, belum dapat disepakati bablas atau tidaknya demokrasi ini sebelum ada konsensus tentang batasan yang harus dikenakan. Tapi jelas dapat dilihat dan nyata dirasakan bahwa memang ada yang tidak beres dalam sistem ini. Berbagai kebebasan politik yang dinikmati selama hampir 20 tahun belum memproduksi pemikiran besar yang dapat menjadi pijakan untuk lompatan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Belum ada kepemimpinan politik yang mampu menyatukan seluruh (atau sebagian besar) kekuatan nasional dalam satu gagasan besar perubahan berikut pelaksanaannya. Hal yang dominan dalam politik kita justru menggiring rakyat ke arah dekadensi dan kemunduran karena kentalnya kepentingan individu dan kelompok/golongan dalam setiap wacana politik, bukan kepentingan nasional atau kepentingan rakyat.
Menghadapi situasi sekarang, kita dapat merujuk kembali pada gagasan Bung Karno tentang batasan demokrasi dengan penyesuaian terhadap konteks situasi agar ‘kekinian’. Sampai di sini mungkin ada trauma atas pelaksanaan “demokrasi Pancasila” yang sejatinya adalah kediktatoran, atau bahkan terhadap “demokrasi terpimpin” sendiri yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk lain dari kediktatoran.
Tapi kekhawatiran ini dapat segera ditepis bila bentuk demokrasi sekarang telah dipandang sebagai persoalan tanpa jalan keluar, yang berarti, suka atau tidak suka, harus ditinjau kembali. Waktu sembilan belas tahun yang dianggap sebagai “transisi demokrasi” telah menghantar kita sampai pada kemapanan demokrasi yang sekarang ini. Tanpa mengabaikan sejumlah capaian positif, tetap saja narasi besar dari pelaksanaan demokrasi sekarang hanya menguntungkan segelintir orang terutama dari kalangan yang berduit. Demokrasi tidak cukup dilandasi dengan prinsip “kesamaan kesempatan” tanpa ada “kesamaan kemampuan”.
Presiden Joko Widodo, yang telah melontarkan persoalan “demokrasi yang kebablasan”, kiranya dapat segera memprakarsai batasan-batasan pelaksanaan demokrasi politik dengan menempatkan tujuan keadilan sosial sebagai penuntun atau pemimpin bagi pelaksanaan demokrasi kita. Tidak cukup hanya soal “penegakkan hukum” seperti dikatakan Presiden. Ketika tujuan telah dapat ditetapkan maka semua alat-alat kekuasaan (hardware) beserta produk hukum dan budaya-nya (software) harus diabdikan untuk mencapai tujuan (keadilan sosial) tersebut. Pertentangan-pertentangan pasti akan muncul dan hal semacam itu semata alamiah. Tapi dukungan rakyat yang lebih luas akan menjadi kekuatan untuk melampauinya.
Kerakyatan (demokrasi) “yang dipimpin oleh hikhmat kebijaksaan” bermakna kecerdasan kita untuk membaca situasi ketimpangan sosial yang ada sekarang dan mencarikan solusinya melalui musyawarah bersama seluruh kekuatan nasional. Bablasnya demokrasi kita bukan semata terindikasi dengan adanya paham radikal keagamaan, tapi terutama terindikasi dengan kekuasaan modal yang begitu kuat sehingga mengalahkan aspirasi suci warga negara biasa untuk menjadi sejahtera.
Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD)

PEMERINTAH INDONESIA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN SAMPAI AWAL ORDE BARU

Dalam doktorin Komonis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai komunis diman pun ia berada selalu bertujuan merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan diktator ploretariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
Pada saat usia Republik Indonesia masih mud, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan pemberontakan di Madium. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia pada pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan  17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meniggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakn PKI.








  • Munculnya Peristiwa G30S/PKI
  1. Sebab-sebab Munculnya G30S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI  yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Tampaknya PKI berkeinginan merebub kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi terpimpin. Di samping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politik. Hal ini tampak dengan diubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh Presiden PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuholeh PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman (seorang  tokoh PKI)ke dalam tubuh PNI.
Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jendral itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI  pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
  1. Peristiwa G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan Presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekarno akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu,  D.N. Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman (alia Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya dikalangan ABRI , seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan Kolonel Anwar dari kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia.  Tempat pertemuan terus berpindah dari suatu tempat ke tempat yamng lainnya. Namun serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa G30s 1945 secara fisik dilakuakn dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnam Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden ) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnam Kolonel Untung mengambil suatu Keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya di bunuh. Mereka dibawah ke lubang buaya, yaitu suatu tempat yang terletak disebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya korban itu dimasukkan ke dalam suatu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh Korban dari TNI-Angkatan Darat adalah sebagai berikut.
  1. Letnam Jenderal Ahmad Yani ( Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
  2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
  3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
  4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisiten I Pangad).
  5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
  6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
  7. Letnam Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang jiga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasran tembak dari kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnam satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah pembantu Letnam Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H Nasution.
Pada waktu bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut  mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnam Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di Daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono . Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnam Kolonel Sugijono. Kedua Perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa kentungan yang terletak disebelah utara Kota Yogyakarta.
  1. Penumpasan G30S/PKI
Operasi penumpasa G30S/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada disekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut bersal dari pasukan Batalyon 503/ Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/ Diponegoro. Anggota pasukan Batalyo 503/ Brawijaya  berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan Anggota pasukan 545/ Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dam nengamankan BNI unit I dan percetakan uang Negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G30S/PKI yang membrontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam  G30S/PKI, maka dilakukan berbagai bentuk upaya. Diantaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaan. Usaha perebutan kekusaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya”Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Sementara itu Presiden dan Menko Hamkam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa diantara Angkatan Dara, Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pebgartian untuk bekerja sama menumpas G30S/PKI. Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia agar tetap tenang dan waspada.
Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G30S/Pki berada di sekitar lapangan Udara Halim Perdana Kusuma, maka langkah berikutnya dalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dari tangan G30S/PKI. Presiden Soekarno Dihimbau Untuk Meninggalkan Daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan, untuk menjaga keselamatan apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G30S/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan  Udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan Halim Predana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangkan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan  Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi dan Batilyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri ( Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpan tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpan tiga Lanuma Halim – lubang buaya tanpa menemui  kesulitan. Pada puku 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukangerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah Lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan Kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan kekampung-kampung di sekitar Lubang Buaya, Ajun Brigadir polisi (Abribtu /Kopral Satu)sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen D.I. Panjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jazad perwira tinggi Angkatan darat yang di kuburkan dalam Sumur Tua. Pengangkatan senjata baru berhasil pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOL (marinir). Seluruh jenaza di bawah ke rumah sakit pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk di bersikan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya pada tanggal 5 Oktober 1965, jenaza para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka danugrahi gelar pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.
Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh  jajaran angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masin-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu diumumkan bahwa pimpinan ngkatan darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam angkatan darat ditunjuk untuk sementara  Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/ Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh Karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.
  1. Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dari seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada di tangan Presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terikat dengan G30S/PKI. keputusan itu diumumkan melalui RRI pusat pukul 01.31, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan pengangkatan dirinya selaku pelaksanaan pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kebijakan Presiden Soekarno mengenai ppenyelesaian G30S/PKI dinyatakan dengan sidang paripurna kabinet  Dwikora tanggal 6 Oktober1965 di Istana Bogor sebagai berikut:

“ Presiden/Panglima tertinggi ABRI/Pemimpin besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualangan kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bisa mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain.”

Dalam rangka penyelesaian masalah G30S/PKI digariskan beberapa kebijakan, diantaranya aspek politik diselesaikan oleh Presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta penyelesaian aspek militer teknis, masalh keamanan dan ketertiban di serahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan Presiden yang mengutuk G30S/Pki dan diduga PKI yang mendalangi atau yang berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat terhadap Pki semakin menungkat. Antara lain dengan dibakarnya gedung Kantor Pusat PKI di jalan Keramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi coret-coret menuntut pimpinan PKI diadili dan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan orgaisasi massa (ormas) yang setia kepada pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G30S/PKI terus ditingkatkan. Kolonel A. Latief, Komandan yang telah dipecat dari Brigade Infranti/kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI makin kuat terungkap sebagai dalaang peristiwa G30S/PKI, dan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno belum bertindak. Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum juga bertindak mengambil lngkah-langkah ke arah penyelesaian politik dari masalah G30S/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikan. D.N. Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim surat pada Presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanya pernyataan-pernyataan yang sifatnya mengutuk G30S/PKI, serta melarang adanya saling menuduh dan saling menyalahkan. Dengan demikian, diharapkan amarah rakyat kepada Pki semakin mereda. Pernyataan itu tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam) juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya(Ormas).
  1. Dampak Sosial Peristiwa G30S/PKI
Setelah Peristiwa G30S/PKI, mahasiswa yang didukung kekuatan ABRI menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Namun, Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat di dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya para Jenderal dan rakyat yang tidk berdosa. Akan tetapi, Presiden Soekarno menyatakan bahwa hal semacam itu dapat saja terjadi dalam suatu Revolusi. Peristiwa 1 Oktober it belum dapat mengambil keputusan yang tepat, namun menyetujui pembentukan Mahkama Militer Luar biasa (Mahmilud) untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI. Presiden tetap tidak mau mengutuk Pki. Oleh karena sikap Presiden seperti itulah,Rakyat, Mahasiswa, dan ABRI mengartikan lain, yaitu Presiden Soekarno dianggap telah membelah PKI. Akibatnya popularitas dan kewibawaan Presiden Soekarno menurun dimata rakyat Indonesia.
Sementara itu, keadaan ekonomi, politik dan keamanan semakin bertambah kacau. Harga barang-barang menjadi naik dan inflasi sangat tinggi, bahkan melebihi 600% setahun. Untuk mengatasinya, pada akhir tahun 1965 pemerintah mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, yaitu dari Rp. 1000,- menjadi Rp. 100,- uang baru. Kebijakan lainnya adlah menaikkan bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966. Kenaikan bahan bakar itu menyebabkan naiknya harga secara tidak terkendali  dan keresahan terjadi dimana-mana.
Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputuusan untuk membubarkan PKI, ditambah lagi situasi politik, ekonomi, dan keamanan yang semakin bertambah kacau, mengakibatkan kemarahan rakyat tidak dapat terbendung  lagi. Rakyat dan mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Dengan banyaknya dukungan dari berbagai pihak, dan dukungan yang terutama datangnya dari rakyat Indonesia, maka KAMI, KAPPI, KAPI mengadakan aksi turun kejalan dan mendesak pemerintah untuk memenuhi  seluruh tuntutannya. Aksi semacam itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga terjadi di kota-kota lainnya. Demonstrasi secara besar-besaran terjadi pada tanggal 10 Januari1966. para demonstram mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA ( Tri atau Tiga Tuntutan Rakyat), yang meliputi sebagai berikut.
  • Pembubaran PKI.
  • Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
  • Penurunan Harga-harga (perbaikan Ekonomi).
Aksi semacam ini semakin meluas dan berlangsung cukup lama yaitu sekitar 60 hari dan berakhir dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Dengan adanya peristiwa G30S/PKI telah mengakibatkan terjadinya instabilisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutuk tragedi G30S/PKI itu dengan penuh harapan agr kelak kemudian hari tidak terulang kembali.
  • Proses Peraliha Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI
  1. Masa Transisi (1966 – 1967)
Setelah peristiwa G30S/PKI, muncul berbagai upaya untuk melakukan perbaikan politik di dalam negeri. Diantaranya Simposium KebangkitanSemangat ’66 yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dan bekerja sama dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) dan KASI ( Kesatuan Aksi Sarjana Indonsesia). Pada simposium yang di selenggarakn dari tanggal 6 – 9 Mei 1966, khusu mebahas bidang politik dalam negeri dengan mengambil tema Indonesia Negara Humkum. Dalam pembahasan itu diingatkan bahwa telah terjadi banyak penyimpangan dari asas serta norma yang berlaku dari negara hukum. Juga dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan peraturan hukum yang telah ditetapkan tidak mencerminkan jiwa pancasila. Penyimpanan yang dilakukan diantaranya penetapan Presiden (Penpres) No. 2 Tahun 1959 tentang MPRS tercantum bahwa seorang pejabat   A yang bertanggung jawab kepada pejabat B, tetapi pengangkatan pejabat B tersebut tergantung pada pejabat A. selain itu, lembaga yudikatif seperti mahkama Agung yang seharusnya melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, pada praktiknya Ketua Mahkama Agung juga diangkat menjadi Menteri Negara. Hal ini menyebabkan terjadinya pengintegrasian ( penyatuan) secara tidak langsung terhadap Mahkama Agung dalam Lembaga Eksekutif, sehingga kekuasaan Mahkama Agung menjadi tidak independen.
Dalam usaha merintis menuju stabilitas politik, maka Keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX / MPRS / 1966 yang memberikan wewenang kepada Letnam Jenderal Soeharto selaku Menteri / Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggapperlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilam jalannya revolusi. Dalam usaha mengembalikan kemurnian pelaksanaan UUD 1945, para anggota MPRS setelah bersidang dari tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966 menghasilkan ketetapan MPRS No. XI / MPRS / 1966 tentang pemilihan Umum. Menurut ketetapan itu, pemilihan Umum diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
Menyadari funsi selaku lembaga yang menentukan garis-garis besar haluan negara, maka MPRS pada waktu itu mengeluarkan ketetapan MPRS No. XIII / MPRS / 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966.  Kabinet ini dibentuk untuk memenuhi dan melaksanakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) di bidang ekonomi, keungan dan pembangunan. Tugas membentukKabinet Ampera diserahkan kepada Letnam Jenderal Soeharto sebagai pengemban ketetapan MPRS No. IX /MPRS / 1966. Tugas pokok yang dibebankan kepada Kabinet itu adalah untuk menciptakan kestabilan politik dan ekonomidengan programnyaantara lain memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pagan, serta melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR No. XI / MPRS /1966.
Memasuki masa-masa terakhir transisi, pemerintah menghadapi masalah nasional. Masalah-masalah nasional yang meminta perhatian di akhir masa transisi adalah sebagai berikut.
  1. Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat untuk mewujudkan stabilisasi politik.
  2. Melaksanakan Pembangunan Lima Tahun yang pertama sebagai usaha untuk memberi isi kepada Kemerdekaan.
  3. Tetap Waspada dan sekaligus memberantas sisa-sisa kekuatan laten PKI.

  1. Peralihan Kekuasaan dari Presiden Soekarno Kepada Jenderl Soeharto
Pada sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden selaku mandataris MPRS diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggung jawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI. Namun dalam pidato pertanggung jawabannya itu, Presiden cenderung hanya memberikan amanat seperti apa yang di lakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung jawabnya. Presiden memberi nama pidato pertanggung jawabannya itu Nawaksara yang artinya sembilan pokok masalah. Akan tetapi masalah nasional tentang G30S/PKI tidak disinggung sama sekali, sehinnga pertanggung jawaban Presiden dianggap tidak lengkap. Oleh karena itu, pimpinan MPRS meminta Presiden untuk melengkapinya.
Pada tanggal 7 Februari 1967, Jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden  Soekarno melalui perantara Hardi, S.H. Pada surat tersebut dilampiri konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar itu. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1966 konsep tersebut dibahas oleh Jenderal Soeharto bersama keempat panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Jenderal Soeharto dan para panglima berkesimpulan bahwa konsep surat tersebut tidak dapat diterima, karena penugasan semacam itu tidak akan membantu penyelesaian konflik politik yang ada. Pada tanggal 10 Februari 1967, Jenderal Seharto menghadap Presiden dan membicarakan mengenai surat penugasan khusus itu serta melaporkan pendirian Panglima Angkatan. Pada tanggal 11 Februari 1967, Para Panglima Angkatan menemui Presiden di Bogor. Di hadapan presiden, Jenderal Soeharto mengajukan konsep yang mempermudah untuk menyelesaikan situasi konflik. Sementara itu Presiden meminta waktu untuk mempelajarinya.
Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkumpul kembali untuk membicarakan konsepyang telah disusun sebelum diajukan kepada Presiden. Jam  11.00 WIB para panglima mengutus Jenderal Panggabean dan Jenderal polisi Soetjipto Judodihardjo untuk menghadap Presiden. Dalam pertemuan itu tidak berhasil tercapai kesepakatan, karena Presiden masih menuntut diadakannya perubahan konsep pada surat itu. Namun beberapa waktu kemudian, dengan perantara Mayor Jenderal Surjo Sumpeno (Ajudan Presiden), Presiden menyatakan setuju terhadap konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto, tetapi presiden meminta jaminan dari Jenderal Soeharto.
Pada tanggal 23 Februari 1967 di Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet  Amperadan para menteri, Presiden/ Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengembang ketetapan MPRS No. IX / MPRS / 1966 Jenderal Soeharto.
Hasil gambar untuk gambar demokrasi terpimpin

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN ORDE LAMA



Sistem Pemerintahan Indonesia Masa Orde Lama yaitu periode pemerintahan Presiden Soekarno pada tahun 1945 sampai tahun 1968. Untuk pengertian, masa berlangsung, kelebiahan dan kekurangannya, mari kita ulas lebih lanjut sistem pemerintahan pada periode ini.

Pengertian Orde Lama

Setelah kemerdekaan, Indonesia mengalami beberapa periode pemerintahan diantaranya orde lama, orde baru, dan reformasi. Orde lama adalah sebutan bagi periode pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno yang berlangsung pada tahun 1945 sampai tahun 1968. Pada periode ini, Presiden Soekarno berlaku sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan.

sistem pemerintahan indonesia masa orde lama
Predisen Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno

Sistem Pemerintahan Orde Lama

Pada masa orde lama, sistem pemerintahan di Indonesia mengalami beberapa peralihan. Indonesia pernah menerapkan sistem pemerintahan presidensial, parlementer, demokrasiliberal, dan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Berikut penjelasan sistem pemerintahan masa Soekarno:

Masa Pemerintahan Pasca Kemerdekaan (1945-1950)

Pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Dimana dalam sistem pemerintahan presidensial, presiden memiliki fungsi ganda, yaitu sebagai badan eksekutif dan merangkap sekaligus sebagai badan legislatif.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno ini juga terjadi penyimpangan UUD 1945. Berikut Penyimpangan UUD 1945 yang terjadi pada masa orde lama:
Fungsi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berubah, dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer.


Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)


Masa pemerintahan pada tahun 1950-1959 disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Pada saat negara kita menganut sistem demokrasi liberal, terdapat ciri-ciri sistem pemerintahan sebagai berikut:
  • Presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
  • Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
  • Presiden berhak membubarkan DPR.
  • Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
  • Pada 17 Agustus 1950 sampai 5 Juli 1959 Presiden Soekarno memerintah menggunakan konstitusi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950. Dewan Konstituante diserahi tugas membuat undang-undang dasar yang baru sesuai amanat UUDS 1950. Namun sampai tahun 1959 badan ini belum juga bisa membuat konstitusi baru. Akhirnya, Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang membubarkan Konstituante. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah:

  • Pembentukan MPRS dan DPAS
  • Kembali berlakunya UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950
  • Pembubaran Konstituante

Tahun 1959 – 1968 (Demokrasi Terpimpin)


Demokrasi terpimpin adalah sebuah sistem demokrasi dimana seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpin negara, yaitu Presiden Soekarno. Sistem Pemerintahan Demokrasi Terpimpin pertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.
Pada masa demokrasi terpimpin ini terjadi berbagai penyimpangan yang menimbulkan beberapa peristiwa besar di Indonesia. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada masa Demokrasi terpimpin yaitu:
  • Pancasila diidentikkan dengan NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis)
  • Produk hukum yang setingkat dengan undang-undang (UU) ditetapkan dalam bentuk penetapan presiden (penpres) daripada persetujuan
  • MPRS mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup
  • Presiden membubarkan DPR hasil pemilu 1955
  • Presiden menyatakan perang dengan Malasya
  • Presiden menyatakan Indonesia keluar dari PBB
  • Hak Budget tidak jalan

Pada masa ini terjadi persaingan antara Angkatan Darat, Presiden, dan PKI. Persaingan ini mencapai klimaks dengan terjadinya perisiwa Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh PKI. Adapun dampak dari peristiwa G 30 S adalah :
  • Demostrasi menentang PKI
  • Mayjen Soeharto menjadi Panglima AD
  • Keadaan ekonomi yang buruk
  • Kabinet seratus menteri
  • Munculnya TRITURA (Tri Tuntutan Rakyat)

Tritura adalah singkatan dari tri tunturan rakyat atau tiga tuntutan rakyat yang dicetuskan dan diserukan oleh para mahasiswa KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dengan didukung oleh ABRI pada tahun 1965. Tuntutan ini ditujukan kepada Pemerintah. Isi TRITURA yaitu:
  1. Pembubaran PKI dan ormas-ormasnya.
  2. Pembersihan kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
  3. Penurunan harga barang-barang.

Peralihan Kekuasaan politik dari Orde lama ke Orde Baru

Terjadinya peristiwa G 30 S PKI sangat berpengaruh terhadap proses peralihan  pemerintahan dari Orde Lama ke Orde baru. Berikut proses peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde baru:
Tanggal 16 Oktober 1966 Mayjen Soeharto telah dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat dan dinaikkan pangkatnya menjadi Letnan Jenderal.

Keberanian KAMI dan KAPPI yang memberikan kesempatan bagi Mayjen Soeharto untuk menawarkan jasa baik demi pulihnya kemacetan roda pemerintahan dapat diakhiri. Untuk itu ia mengutus tiga Jenderal yaitu M.Yusuf, Amir macmud dan Basuki Rahmat oleh Soeharto untuk menemui presiden guna menyampaikan tawaran itu pada tanggal 11 Maret 1966. Sebagai hasilnya lahirlah surat perintah 11 Maret 1966 (SUPERSEMAR).



SUPERSEMAR atau Surat Perintah Sebelas Maret adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu. Sampai saat ini belum ada yang tahu secara pasti isi supersemar.

  • Pada tanggal 7 februari 1967, jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden melalui perantara Hardi S.H. Pada surat tersebut di lampiri sebuah konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar.
  • Pada 11 Februari 1967 Jend. Soharto mengajukan konsep yang bisa digunakan untuk mempermudah penyelesaian konflik. Konsep ini berisi tentang pernyataan presiden berhalangan atau presiden menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pemegang Supersemar sesuai dengan ketetapan MPRS No.XV/MPRS/1966, presiden kemudian meminta waktu untuk mempelajarinya.
  • Pada tanggal 12 Februari 1967, Jend.Soeharto kemudian bertemu kembali dengan presiden, presiden tidak dapat  menerima  konsep tersebut karena tidak menyetujui pernyataan yang isinya berhalangan.
  • Pada tanggal 20 Februari 1967 ditandatangani konsep ini oleh presiden setelah diadakan sedikit perubahan yakni pada pasal 3 di tambah dengan kata-kata menjaga dan menegakkan revolusi.
  • Pada tanggal 23 Februari 1967, pukul 19.30 bertempat di Istana Negara presiden /Mendataris MPRS/ Panglima tertinggi ABRI dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengemban Supersemar yaitu Jend.Soeharto. 
  • Pada bulan Maret 1967, MPRS mengadakan sidang istimewa dalam rangka mengukuhkan pengunduran diri Presiden Soekarno sekaligus mengangkat Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden RI.
  • Setelah turunnya Presiden Soekarno dari kursi kepresidenan maka berakhirlah orde lama. Kepemimpinan disahkan kepada Jendral Soeharto yang menanamkan era kepemimpinanya sebagai orde baru.


Kelebihan dan Kekurangan Pemerintahan Orde Lama


Masa Pemerintahan Orde Lama memang tergolong pemerintahan yang mengalami banyak transisi sistem pemerintahan dan banyak peristiwa penting yang terjadi di dalamnya. Berikut kelebihan dan kekurangan masa Pemerintahan Orde lama:

Kelebihan Masa Orde Lama

  • Presiden Soekarno banyak menyumbangkan gagasan-gagasan dalam politik luar negeri.
  • Indonesia berhasil merebut kembali Irian Barat dari Belanda melalui jalur diplomasi dan militer
  • Kepemimpinan Indonesia di mata dunia Internasional mempunyai sumbangsih besar, yaitu sebagai pelopor gerakan Non blok dan Pemimpin Asia Afrika. Konferensi Asia Afrika diadakan pada tahun 1955 di Bandung. Konferensi Asia Afrika tersebut membuahkan Gerakan Non-Blok pada tahun 1961.
  • Mampu membangun integritas nasional yang kuat

Kekurangan Masa Orde Lama

  • Penataan kehidupan konstitusional yang tidak berjalan sebagaimana di atur dalam UUD 1945.
  • Situasi politik yang tidak stabil terlihat dari banyaknya pergantian kabinet yang mencapai 7 kali pergantian kabinet.
  • Sistem demokrasi terpimpin. Kekuasaan Presiden Soekarno yang sangat Dominan, Sehingga kehidupan politik tidak tumbuh demokratis.
  • Pertentangan ideologi antara nasionalis, agama dan komunis (NASAKOM)
  • Terjadinya inflasi yang mengakibatkan harga kebutuhan pokok menjadi tinggi.
Demikian sedikit ulasan tentang pemerintahan masa Ir. Soekarno yang sering disebut sistem pemerintahan indoneisa masa orde lama, semoga bisa bermanfaat bagi anda, terimakasih. 

Berlakunya Demokrasi Terpimpin di Indonesia

Setelah proklamasi 17 Agustus 1950 berakhirlah masa pemberlakuan UUD RIS 1949 karena berbagai negara bagian federasi RIS melebur kedalam Republik Indonesia dan untuk mengatasi perubahan yang cepat itu maka dibuatlah UUDS 1950 sebagai landasan konstitusi Republik Indonesia dengan harapan secepatnya akan diadakan pemilu serta pergantian konstitusi yang baru

Berlakunya UUDS 50 membuat sistem pemerintahn Indonesia berlaku sistempemerintahn Parlementer yang sering disebut Demokrasi Liberal. Pada periode ini pula kabinet selalu silih berganti, akibatnya pembangunan tidak berjalan lancar, masing-masing partai lebih memperhatikan kepentingan partai atau golongannya. Setelah negara RI dengan UUDS 1950 dan sistem Demokrasi Liberal yang dialami rakyat Indonesia selama hampir 9 tahun, maka rakyat Indonesia sadar bahwa UUDS 1950 dengan sistem Demokrasi Liberal tidak cocok, karena tidak sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 1945. Konsep sistem Demokrasi Terpimpin sendiripertama kali diumumkan oleh Presiden Soekarno dalam pembukaan sidang konstituante pada tanggal 10 November 1956.

Akhirnya Presiden menganggap bahwa keadaan ketatanegaraan Indonesia membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara serta merintangi pembangunan semesta berencana untuk mencapai masyarakat adil dan makmur;serta melihat perkembangan dari hasil kerja Badan Konstitunate yang kurang bekerja secara maksimal dan hanya mewakili kepentingan politik dan golonganya diatas kepentingan nasional sehingga Soekarni memandang usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan jika hanya berharap pada Badan Konstituante. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi
1.    Pembubaran Badan Konstituante.
2.    Berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, dan
3.    Pembentukan MPRS dan DPAS.



Masa Demokrasi Terpimpin
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan dari berbagai pihak. Kepala Staf Angkatan Darat mengeluarkan perintah harian bagi seluruh anggota TNI untuk melaksanakan dan mengumumkan dekrit tersebut. Mahkamah Agung membenarkan dekrit tersebut. DPR hasil pemilu pertama, pada tanggal 22 Juli 1959 menyatakan kesediaan untuk bekerja berdasarkan UUD 1945.

Negara Indonesia kembali kepada UUD 1945 dengan beberapa alasan sebagai berikut.
Ø  UUD 1945 tidak mengenal bentuk negara serikat dan hanya mengenal bentuk negara kesatuan sesuai dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Ø  UUD 1945 tidak mengenal dualisme kepemimpinan (dua pimpinan) antara pimpinan pemerintah (perdana menteri) dan pimpinan negara (presiden).
Ø  UUD 1945 mencegah timbulnya liberalisme, baik dalam politik maupun ekonomi dan juga mencegah timbulnya kediktatoran.
Ø  UUD 1945 menjamin adanya pemerintahan yang stabil.

Ø  UUD 1945 menjadikan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dan dasar negara.