Dalam doktorin Komonis telah dinyatakan dengan jelas bahwa setiap partai komunis diman pun ia berada selalu bertujuan merebut kekuasaan negara dengan menyingkirkan kekuatan politik lainnya. Hal ini ditempuh dalam rangka menegakkan diktator ploretariat. Usaha yang ditempuh dalam merebut kekuasaan selalu dilakukan dengan cara kekerasan, seperti yang berlangsung diberbagai negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
Pada saat usia Republik Indonesia masih mud, yaitu pada tahun 1948, PKI pernah mencoba untuk merebut kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia yang sah. Gerakan PKI itu dikenal dengan pemberontakan di Madium. Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas berkat kerjasama ABRI dan rakyat yang setia pada pancasila dan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Setelah itu, PKI bergerak di bawah tanah, dan muncul kembali pada tahun 1950 dalam kehidupan politik di Indonesia dan ikut serta dalam Pemilihan Umum I tahun 1955.
Peristiwa percobaan kudeta PKI di tahun 1948, masih membekas dan meniggalkan trauma bagi bangsa Indonesia, sehingga selalu timbul kecurigaan terhadap gerakan-gerakn PKI.
- Munculnya Peristiwa G30S/PKI
- Sebab-sebab Munculnya G30S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NU.
Tampaknya PKI berkeinginan merebub kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi terpimpin. Di samping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politik. Hal ini tampak dengan diubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh Presiden PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuholeh PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman (seorang tokoh PKI)ke dalam tubuh PNI.
Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jendral itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
- Peristiwa G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan Presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekarno akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu, D.N. Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman (alia Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya dikalangan ABRI , seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan Kolonel Anwar dari kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dari suatu tempat ke tempat yamng lainnya. Namun serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa G30s 1945 secara fisik dilakuakn dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnam Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden ) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnam Kolonel Untung mengambil suatu Keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya di bunuh. Mereka dibawah ke lubang buaya, yaitu suatu tempat yang terletak disebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya korban itu dimasukkan ke dalam suatu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh Korban dari TNI-Angkatan Darat adalah sebagai berikut.
- Letnam Jenderal Ahmad Yani ( Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
- Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
- Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
- Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisiten I Pangad).
- Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
- Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
- Letnam Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang jiga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasran tembak dari kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnam satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah pembantu Letnam Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H Nasution.
Pada waktu bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnam Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di Daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono . Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnam Kolonel Sugijono. Kedua Perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa kentungan yang terletak disebelah utara Kota Yogyakarta.
- Penumpasan G30S/PKI
Operasi penumpasa G30S/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada disekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut bersal dari pasukan Batalyon 503/ Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/ Diponegoro. Anggota pasukan Batalyo 503/ Brawijaya berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan Anggota pasukan 545/ Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dam nengamankan BNI unit I dan percetakan uang Negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G30S/PKI yang membrontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam G30S/PKI, maka dilakukan berbagai bentuk upaya. Diantaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaan. Usaha perebutan kekusaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya”Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Sementara itu Presiden dan Menko Hamkam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa diantara Angkatan Dara, Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pebgartian untuk bekerja sama menumpas G30S/PKI. Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia agar tetap tenang dan waspada.
Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G30S/Pki berada di sekitar lapangan Udara Halim Perdana Kusuma, maka langkah berikutnya dalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dari tangan G30S/PKI. Presiden Soekarno Dihimbau Untuk Meninggalkan Daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan, untuk menjaga keselamatan apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G30S/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan Halim Predana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangkan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi dan Batilyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri ( Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpan tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpan tiga Lanuma Halim – lubang buaya tanpa menemui kesulitan. Pada puku 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukangerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah Lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan Kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan kekampung-kampung di sekitar Lubang Buaya, Ajun Brigadir polisi (Abribtu /Kopral Satu)sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen D.I. Panjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jazad perwira tinggi Angkatan darat yang di kuburkan dalam Sumur Tua. Pengangkatan senjata baru berhasil pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOL (marinir). Seluruh jenaza di bawah ke rumah sakit pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk di bersikan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya pada tanggal 5 Oktober 1965, jenaza para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka danugrahi gelar pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.
Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh jajaran angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masin-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu diumumkan bahwa pimpinan ngkatan darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam angkatan darat ditunjuk untuk sementara Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/ Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh Karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.
- Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dari seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada di tangan Presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terikat dengan G30S/PKI. keputusan itu diumumkan melalui RRI pusat pukul 01.31, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan pengangkatan dirinya selaku pelaksanaan pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kebijakan Presiden Soekarno mengenai ppenyelesaian G30S/PKI dinyatakan dengan sidang paripurna kabinet Dwikora tanggal 6 Oktober1965 di Istana Bogor sebagai berikut:
“ Presiden/Panglima tertinggi ABRI/Pemimpin besar Revolusi, Bung Karno menandaskan bahwa ia mengutuk pembunuhan buas yang dilakukan oleh petualangan kontrarevolusi yang menamakan dirinya dengan Gerakan 30 September 1965. Presiden juga tidak membenarkan pembentukan apa yang dinamakan Dewan Revolusi. Hanya saja bisa mendemisionerkan kabinet, bukan orang lain.”
Dalam rangka penyelesaian masalah G30S/PKI digariskan beberapa kebijakan, diantaranya aspek politik diselesaikan oleh Presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta penyelesaian aspek militer teknis, masalh keamanan dan ketertiban di serahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan Presiden yang mengutuk G30S/Pki dan diduga PKI yang mendalangi atau yang berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat terhadap Pki semakin menungkat. Antara lain dengan dibakarnya gedung Kantor Pusat PKI di jalan Keramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi coret-coret menuntut pimpinan PKI diadili dan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan orgaisasi massa (ormas) yang setia kepada pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G30S/PKI terus ditingkatkan. Kolonel A. Latief, Komandan yang telah dipecat dari Brigade Infranti/kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI makin kuat terungkap sebagai dalaang peristiwa G30S/PKI, dan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno belum bertindak. Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum juga bertindak mengambil lngkah-langkah ke arah penyelesaian politik dari masalah G30S/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikan. D.N. Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim surat pada Presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanya pernyataan-pernyataan yang sifatnya mengutuk G30S/PKI, serta melarang adanya saling menuduh dan saling menyalahkan. Dengan demikian, diharapkan amarah rakyat kepada Pki semakin mereda. Pernyataan itu tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam) juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya(Ormas).
- Dampak Sosial Peristiwa G30S/PKI
Setelah Peristiwa G30S/PKI, mahasiswa yang didukung kekuatan ABRI menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI. Namun, Presiden Soekarno menyalahkan orang-orang yang terlibat di dalam perbuatan keji yang berakhir dengan gugurnya para Jenderal dan rakyat yang tidk berdosa. Akan tetapi, Presiden Soekarno menyatakan bahwa hal semacam itu dapat saja terjadi dalam suatu Revolusi. Peristiwa 1 Oktober it belum dapat mengambil keputusan yang tepat, namun menyetujui pembentukan Mahkama Militer Luar biasa (Mahmilud) untuk mengadili tokoh-tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI. Presiden tetap tidak mau mengutuk Pki. Oleh karena sikap Presiden seperti itulah,Rakyat, Mahasiswa, dan ABRI mengartikan lain, yaitu Presiden Soekarno dianggap telah membelah PKI. Akibatnya popularitas dan kewibawaan Presiden Soekarno menurun dimata rakyat Indonesia.
Sementara itu, keadaan ekonomi, politik dan keamanan semakin bertambah kacau. Harga barang-barang menjadi naik dan inflasi sangat tinggi, bahkan melebihi 600% setahun. Untuk mengatasinya, pada akhir tahun 1965 pemerintah mengadakan devaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru, yaitu dari Rp. 1000,- menjadi Rp. 100,- uang baru. Kebijakan lainnya adlah menaikkan bahan bakar menjadi empat kali lipat sejak 1 Januari 1966. Kenaikan bahan bakar itu menyebabkan naiknya harga secara tidak terkendali dan keresahan terjadi dimana-mana.
Sikap pemerintah yang belum dapat mengambil keputuusan untuk membubarkan PKI, ditambah lagi situasi politik, ekonomi, dan keamanan yang semakin bertambah kacau, mengakibatkan kemarahan rakyat tidak dapat terbendung lagi. Rakyat dan mahasiswa menuntut pemerintah untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Dengan banyaknya dukungan dari berbagai pihak, dan dukungan yang terutama datangnya dari rakyat Indonesia, maka KAMI, KAPPI, KAPI mengadakan aksi turun kejalan dan mendesak pemerintah untuk memenuhi seluruh tuntutannya. Aksi semacam itu tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga terjadi di kota-kota lainnya. Demonstrasi secara besar-besaran terjadi pada tanggal 10 Januari1966. para demonstram mengajukan tiga tuntutan yang terkenal dengan sebutan TRITURA ( Tri atau Tiga Tuntutan Rakyat), yang meliputi sebagai berikut.
- Pembubaran PKI.
- Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur PKI.
- Penurunan Harga-harga (perbaikan Ekonomi).
Aksi semacam ini semakin meluas dan berlangsung cukup lama yaitu sekitar 60 hari dan berakhir dengan keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar).
Dengan adanya peristiwa G30S/PKI telah mengakibatkan terjadinya instabilisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengutuk tragedi G30S/PKI itu dengan penuh harapan agr kelak kemudian hari tidak terulang kembali.
- Proses Peraliha Kekuasaan Politik Setelah Peristiwa G30S/PKI
- Masa Transisi (1966 – 1967)
Setelah peristiwa G30S/PKI, muncul berbagai upaya untuk melakukan perbaikan politik di dalam negeri. Diantaranya Simposium KebangkitanSemangat ’66 yang diselenggarakan oleh Universitas Indonesia dan bekerja sama dengan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia ) dan KASI ( Kesatuan Aksi Sarjana Indonsesia). Pada simposium yang di selenggarakn dari tanggal 6 – 9 Mei 1966, khusu mebahas bidang politik dalam negeri dengan mengambil tema Indonesia Negara Humkum. Dalam pembahasan itu diingatkan bahwa telah terjadi banyak penyimpangan dari asas serta norma yang berlaku dari negara hukum. Juga dinyatakan bahwa dalam pelaksanaan peraturan hukum yang telah ditetapkan tidak mencerminkan jiwa pancasila. Penyimpanan yang dilakukan diantaranya penetapan Presiden (Penpres) No. 2 Tahun 1959 tentang MPRS tercantum bahwa seorang pejabat A yang bertanggung jawab kepada pejabat B, tetapi pengangkatan pejabat B tersebut tergantung pada pejabat A. selain itu, lembaga yudikatif seperti mahkama Agung yang seharusnya melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, pada praktiknya Ketua Mahkama Agung juga diangkat menjadi Menteri Negara. Hal ini menyebabkan terjadinya pengintegrasian ( penyatuan) secara tidak langsung terhadap Mahkama Agung dalam Lembaga Eksekutif, sehingga kekuasaan Mahkama Agung menjadi tidak independen.
Dalam usaha merintis menuju stabilitas politik, maka Keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 yang kemudian dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No. IX / MPRS / 1966 yang memberikan wewenang kepada Letnam Jenderal Soeharto selaku Menteri / Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggapperlu guna menjamin keamanan dan ketenangan serta kestabilam jalannya revolusi. Dalam usaha mengembalikan kemurnian pelaksanaan UUD 1945, para anggota MPRS setelah bersidang dari tanggal 20 Juni – 5 Juli 1966 menghasilkan ketetapan MPRS No. XI / MPRS / 1966 tentang pemilihan Umum. Menurut ketetapan itu, pemilihan Umum diselenggarakan selambat-lambatnya tanggal 5 Juli 1968.
Menyadari funsi selaku lembaga yang menentukan garis-garis besar haluan negara, maka MPRS pada waktu itu mengeluarkan ketetapan MPRS No. XIII / MPRS / 1966 tentang pembentukan Kabinet Ampera yang diresmikan pada tanggal 28 Juli 1966. Kabinet ini dibentuk untuk memenuhi dan melaksanakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) di bidang ekonomi, keungan dan pembangunan. Tugas membentukKabinet Ampera diserahkan kepada Letnam Jenderal Soeharto sebagai pengemban ketetapan MPRS No. IX /MPRS / 1966. Tugas pokok yang dibebankan kepada Kabinet itu adalah untuk menciptakan kestabilan politik dan ekonomidengan programnyaantara lain memperbaiki kehidupan rakyat terutama di bidang sandang dan pagan, serta melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR No. XI / MPRS /1966.
Memasuki masa-masa terakhir transisi, pemerintah menghadapi masalah nasional. Masalah-masalah nasional yang meminta perhatian di akhir masa transisi adalah sebagai berikut.
- Berusaha memperkuat pelaksanaan sistem konstitusional, menegakkan hukum dan menumbuhkan kehidupan demokrasi yang sehat sebagai syarat untuk mewujudkan stabilisasi politik.
- Melaksanakan Pembangunan Lima Tahun yang pertama sebagai usaha untuk memberi isi kepada Kemerdekaan.
- Tetap Waspada dan sekaligus memberantas sisa-sisa kekuatan laten PKI.
- Peralihan Kekuasaan dari Presiden Soekarno Kepada Jenderl Soeharto
Pada sidang Umum MPRS tahun 1966, Presiden selaku mandataris MPRS diminta oleh MPRS untuk memberikan pertanggung jawaban mengenai kebijakan yang telah dilakukan, khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI. Namun dalam pidato pertanggung jawabannya itu, Presiden cenderung hanya memberikan amanat seperti apa yang di lakukan di hadapan sidang-sidang lembaga yang berada di lingkungan tanggung jawabnya. Presiden memberi nama pidato pertanggung jawabannya itu Nawaksara yang artinya sembilan pokok masalah. Akan tetapi masalah nasional tentang G30S/PKI tidak disinggung sama sekali, sehinnga pertanggung jawaban Presiden dianggap tidak lengkap. Oleh karena itu, pimpinan MPRS meminta Presiden untuk melengkapinya.
Pada tanggal 7 Februari 1967, Jenderal Soeharto menerima surat rahasia dari Presiden Soekarno melalui perantara Hardi, S.H. Pada surat tersebut dilampiri konsep surat penugasan mengenai pimpinan pemerintahan sehari-hari kepada pemegang Supersemar itu. Kemudian pada tanggal 8 Februari 1966 konsep tersebut dibahas oleh Jenderal Soeharto bersama keempat panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Jenderal Soeharto dan para panglima berkesimpulan bahwa konsep surat tersebut tidak dapat diterima, karena penugasan semacam itu tidak akan membantu penyelesaian konflik politik yang ada. Pada tanggal 10 Februari 1967, Jenderal Seharto menghadap Presiden dan membicarakan mengenai surat penugasan khusus itu serta melaporkan pendirian Panglima Angkatan. Pada tanggal 11 Februari 1967, Para Panglima Angkatan menemui Presiden di Bogor. Di hadapan presiden, Jenderal Soeharto mengajukan konsep yang mempermudah untuk menyelesaikan situasi konflik. Sementara itu Presiden meminta waktu untuk mempelajarinya.
Pada tanggal 13 Februari 1967, para panglima berkumpul kembali untuk membicarakan konsepyang telah disusun sebelum diajukan kepada Presiden. Jam 11.00 WIB para panglima mengutus Jenderal Panggabean dan Jenderal polisi Soetjipto Judodihardjo untuk menghadap Presiden. Dalam pertemuan itu tidak berhasil tercapai kesepakatan, karena Presiden masih menuntut diadakannya perubahan konsep pada surat itu. Namun beberapa waktu kemudian, dengan perantara Mayor Jenderal Surjo Sumpeno (Ajudan Presiden), Presiden menyatakan setuju terhadap konsep yang diajukan oleh Jenderal Soeharto, tetapi presiden meminta jaminan dari Jenderal Soeharto.
Pada tanggal 23 Februari 1967 di Istana Negara Jakarta dengan disaksikan oleh Ketua Presidium Kabinet Amperadan para menteri, Presiden/ Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dengan resmi telah menyerahkan kekuasaan pemerintah kepada pengembang ketetapan MPRS No. IX / MPRS / 1966 Jenderal Soeharto.