Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo menyampaikan keprihatinannya atas situasi demokrasi di Indonesia. Menurutnya, demokrasi di Indonesia sudah kebablasan. Indikasinya dapat dilihat dari merebaknya persoalan-persoalan yang menggerogoti bangsa seperti liberalisme, sektarianisme, fundamentalisme, radikalisme, terorisme, dan isme-isme yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. (Kompas, 23/02)
Keprihatinan ini memang bukan hal baru. Sebelum presiden membuat pernyataan seperti dikutip di atas, telah banyak tokoh politik, tokoh militer maupun akademisi yang menyatakan keprihatinan yang sama. Namun, terlepas dari persoalan siapa yang memulai, penulis menganggap penting untuk menelaah lebih mendalam persoalan ini.
Telaah atas persoalan ini dapat dimulai dengan pertanyaan-pertanyaann berikut; apakah benar demokrasi di negeri kita sudah kebablasan? Bagaimana mengukur bablas atau tidaknya suatu bentuk demokrasi? Lantas, bila benar demokrasi di sini sudah kebablasan dan perlu ditinjau kembali, bagaimana bentuk demokrasi yang lebih cocok atau lebih sesuai dengan keadaan bangsa Indonesia?
Demokrasi, ketika dipahami secara etimologis maupun hakikatnya (kekuasaan/kedaulatan rakyat), semata-mata bermakna positif atau baik. Oleh karena itu saya kira tidak ada keberatan apapun terhadap sistem demokrasi. Bahkan pemerintahan diktator sebelum reformasi 1998 menggunakan istilah “demokrasi Pancasila” untuk memberi judul pada bentuk kediktatorannya. Artinya, demokrasi telah menjadi kata kunci yang tidak bisa dinegasikan secara sewenang-wenang dalam perpolitikan bangsa Indonesia.
Lantas, apakah benar demokrasi kita sudah kebablasan atau kelewat batas? Apa saja batas-batas yang telah dilewati oleh praktek berdemokrasi kita sekarang?
Pada tahun 1957, dua tahun sebelum penerapan demokrasi terpimpin, Bung Karno telah menyampaikan kritik yang serupa terhadap pelaksanaan demokrasi liberal. Penerapan demokrasi saat itu disebut Bung Karno sebagai “demokrasi-omong”, “demokrasi zonder (tanpa) disiplin”, “demokrasi tanpa pimpinan”, “demokrasi hantam-kromo”, “demokrasi yang membiarkan seribu tujuan dan menenggelamkan tujuan bersama”. Bentuk demokrasi ini melahirkan berbagai krisis, mulai dari krisis demokrasi itu sendiri, krisis akhlak, krisis cara meninjau persoalan (merebaknya sinisme), dan lain-lain.
Bung Karno kemudian memberikan canang tentang batasan dari demokrasi. Menurutnya, demokrasi hanyalah alat, bukan tujuan. Tujuan yang sesungguhnya adalah keadilan sosial. Demokrasi haruslah menjadi alat bagi terwujudnya keadilan sosial tersebut. Oleh karena itu batas-batas dari demokrasi harus mencakup batas “kepentingan rakyat banyak, batas kesusilaan, batas keselamatan negara, batas kepribadian bangsa, batas pertanggungjawaban kepada Tuhan.”
Bila kita melihat pelaksanaan demokrasi sejak tahun 1998, belum dapat disepakati bablas atau tidaknya demokrasi ini sebelum ada konsensus tentang batasan yang harus dikenakan. Tapi jelas dapat dilihat dan nyata dirasakan bahwa memang ada yang tidak beres dalam sistem ini. Berbagai kebebasan politik yang dinikmati selama hampir 20 tahun belum memproduksi pemikiran besar yang dapat menjadi pijakan untuk lompatan kemajuan bagi bangsa Indonesia. Belum ada kepemimpinan politik yang mampu menyatukan seluruh (atau sebagian besar) kekuatan nasional dalam satu gagasan besar perubahan berikut pelaksanaannya. Hal yang dominan dalam politik kita justru menggiring rakyat ke arah dekadensi dan kemunduran karena kentalnya kepentingan individu dan kelompok/golongan dalam setiap wacana politik, bukan kepentingan nasional atau kepentingan rakyat.
Menghadapi situasi sekarang, kita dapat merujuk kembali pada gagasan Bung Karno tentang batasan demokrasi dengan penyesuaian terhadap konteks situasi agar ‘kekinian’. Sampai di sini mungkin ada trauma atas pelaksanaan “demokrasi Pancasila” yang sejatinya adalah kediktatoran, atau bahkan terhadap “demokrasi terpimpin” sendiri yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk lain dari kediktatoran.
Tapi kekhawatiran ini dapat segera ditepis bila bentuk demokrasi sekarang telah dipandang sebagai persoalan tanpa jalan keluar, yang berarti, suka atau tidak suka, harus ditinjau kembali. Waktu sembilan belas tahun yang dianggap sebagai “transisi demokrasi” telah menghantar kita sampai pada kemapanan demokrasi yang sekarang ini. Tanpa mengabaikan sejumlah capaian positif, tetap saja narasi besar dari pelaksanaan demokrasi sekarang hanya menguntungkan segelintir orang terutama dari kalangan yang berduit. Demokrasi tidak cukup dilandasi dengan prinsip “kesamaan kesempatan” tanpa ada “kesamaan kemampuan”.
Presiden Joko Widodo, yang telah melontarkan persoalan “demokrasi yang kebablasan”, kiranya dapat segera memprakarsai batasan-batasan pelaksanaan demokrasi politik dengan menempatkan tujuan keadilan sosial sebagai penuntun atau pemimpin bagi pelaksanaan demokrasi kita. Tidak cukup hanya soal “penegakkan hukum” seperti dikatakan Presiden. Ketika tujuan telah dapat ditetapkan maka semua alat-alat kekuasaan (hardware) beserta produk hukum dan budaya-nya (software) harus diabdikan untuk mencapai tujuan (keadilan sosial) tersebut. Pertentangan-pertentangan pasti akan muncul dan hal semacam itu semata alamiah. Tapi dukungan rakyat yang lebih luas akan menjadi kekuatan untuk melampauinya.
Kerakyatan (demokrasi) “yang dipimpin oleh hikhmat kebijaksaan” bermakna kecerdasan kita untuk membaca situasi ketimpangan sosial yang ada sekarang dan mencarikan solusinya melalui musyawarah bersama seluruh kekuatan nasional. Bablasnya demokrasi kita bukan semata terindikasi dengan adanya paham radikal keagamaan, tapi terutama terindikasi dengan kekuasaan modal yang begitu kuat sehingga mengalahkan aspirasi suci warga negara biasa untuk menjadi sejahtera.
Dominggus Oktavianus, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD)
No comments:
Post a Comment